
News & Articles
PBB Bukan Bukti Kepemilikan Tanah: Klarifikasi Hukum dan Fakta
CIVIL LAW
Chreisty Alfin Souisa, S.Pd., SH, C.Ns
5/8/20244 min read


Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan aset properti, sering kali muncul kesalahpahaman terkait Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Banyak masyarakat yang menganggap bahwa bukti pembayaran PBB dapat dijadikan tanda bukti kepemilikan hak atas tanah. Akibatnya, dalam berbagai sengketa agraria, PBB kerap disertakan sebagai alat bukti penguasaan tanah. Padahal, persepsi ini telah lama berkembang di kalangan masyarakat Indonesia. Jika ditelusuri lebih jauh, anggapan bahwa PBB merupakan bukti hak atas tanah bahkan sudah ada sejak masa kolonial. Lantas, apa sebenarnya PBB itu, dan bagaimana hubungannya dengan hak atas tanah?
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan biaya yang wajib dibayarkan atas kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan tanah dan/atau bangunan yang memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi individu atau badan. Karena sifatnya yang kebendaan, besaran tarif PBB ditentukan berdasarkan kondisi objek pajak, yaitu tanah atau bangunan. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) didefinisikan sebagai pajak atas tanah dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan.
Pada masa kolonial Belanda, pajak atas tanah dan bangunan dikenal dengan istilah Verponding, yang kini disebut PBB. Hingga tahun 1961, terdapat tiga jenis pemungutan pajak tanah, yaitu:
Verponding Eropa: Pajak untuk tanah dengan status Hak Barat.
Verponding Indonesia: Pajak untuk tanah hak milik adat di wilayah Gemeente.
Landrente atau Pajak Bumi: Pajak untuk tanah hak milik adat di luar wilayah Gemeente.
Penentuan objek pajak dalam sistem Verponding didasarkan pada status tanah, yaitu apakah tanah tersebut termasuk Hak Barat atau hak milik adat. Wajib pajak adalah pemegang hak atau pemilik tanah. Namun, tanah yang dikuasai seseorang tidak akan dikenakan Verponding atau Landrente jika statusnya bukan Hak Barat atau hak milik adat, meskipun penguasanya mengajukan permohonan untuk dikenakan pajak. Pengenaan Verponding dikelola oleh Jawatan Pajak dan sering kali terkait dengan pendaftaran hak atas tanah oleh pejabat pendaftaran tanah. Di kalangan masyarakat Indonesia pada masa itu, surat Verponding—yang sebenarnya hanya bukti pengenaan pajak—sering dianggap sebagai tanda bukti kepemilikan tanah.
Masyarakat Indonesia memandang pengenaan pajak dan penerimaan pembayaran pajak oleh pemerintah sebagai pengakuan resmi atas hak kepemilikan tanah. Akibatnya, dalam sengketa agraria, pembayar pajak mengharapkan perlindungan dari pemerintah. Padahal, surat pengenaan pajak tanah hanyalah bukti administratif yang dimaksudkan untuk keperluan pemungutan pajak, bukan bukti kepemilikan. Kebijakan agraria kolonial, termasuk Verponding, lebih mengutamakan sistem fiscal cadaster yang bertujuan mempermudah pemungutan pajak dari pemilik atau penguasa tanah, bukan untuk melindungi hak masyarakat atas tanah jajahan. Sebaliknya, kebijakan agraria pasca-kemerdekaan mengedepankan sistem legal cadaster sesuai Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang bertujuan memberikan kepastian hukum dan hak atas tanah bagi masyarakat Indonesia.
Saat ini, Verponding yang dahulu dianggap sebagai bukti kepemilikan tanah hanya berfungsi sebagai petunjuk administratif dalam pendaftaran tanah, bukan bukti hak. Demikian pula, bukti pembayaran PBB hanya digunakan sebagai dasar warkah untuk penerbitan sertifikat tanah. Sejak berlakunya UUPA pada tahun 1961, Verponding digantikan dengan Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA), yang kemudian berubah menjadi PBB melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Nomor 68 Tahun 1985, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312). Penjelasan Pasal 4 ayat (1) undang-undang tersebut dengan tegas menyatakan: “Tanda pembayaran atau pelunasan pajak bukan merupakan bukti kepemilikan hak.” Rumusan ini menegaskan bahwa bukti pembayaran PBB tidak dapat digunakan sebagai dasar penguasaan tanah, sehingga kekuatan pembuktiannya lemah. Bukti kepemilikan tanah yang sah adalah sertifikat tanah, sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997), yang berbunyi:
Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Sertifikat hanya boleh diserahkan kepada pihak yang namanya tercantum dalam buku tanah sebagai pemegang hak atau kepada pihak lain yang dikuasakan olehnya.
Kesimpulan
Tanda pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bukanlah bukti kepemilikan hak atas tanah, melainkan hanya bukti administratif pengenaan dan pelunasan pajak atas tanah dan/atau bangunan tertentu. Anggapan masyarakat bahwa PBB merupakan bukti kepemilikan tanah berasal dari pemahaman keliru yang berakar pada praktik kolonial seperti Verponding. Namun, baik pada masa kolonial maupun pasca-kemerdekaan, kebijakan fiskal tersebut tidak dimaksudkan sebagai bukti hak atas tanah.
Dalam sistem hukum agraria Indonesia, pendaftaran tanah berdasarkan UUPA mengedepankan legal cadaster untuk menjamin kepastian hukum dan hak atas tanah. Bukti kepemilikan tanah yang sah adalah sertifikat tanah, sebagaimana diatur dalam Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997. Sertifikat ini berisi data fisik dan yuridis tanah yang diakui sebagai alat bukti kuat secara hukum. Oleh karena itu, bukti pembayaran PBB hanya berfungsi sebagai petunjuk administratif dalam proses pendaftaran tanah dan tidak dapat digunakan sebagai dasar pengakuan kepemilikan hak.
Demikian artikel ini ditulis. Semoga bermanfaat!.
Dasar Hukum
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah
Referensi
Winata, Meta Nadia (2021) "Analisis Terhadap Tanda Bukti Hak Lama Sebagai Petunjuk Kepemilikan Hak Atas Tanah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021," Indonesian Notary: Vol. 3, Article 44.
Sandra. Mengenal Apa Itu Pajak Bumi dan Bangunan, https://www.pajakku.com diakses pada 05 Desember 2024.
Disclaimer :
Semua informasi yang disajikan di Blog CAS Law Firm adalah informasi yang bersifat umum yang ditujukan untuk kepentingan edukasi. informasi ini tidak dapat dianggap sebagai nasihat hukum mapun dijadikan bukti dalam proses hukum apapun baik di pengadilan, artibtrasse, maupun penyelesaian di luar pengadilan termasuk peradilan hubungan industrial.
Sebaiknya anda memverifikasi ulang dasar hukum yang dirujuk dalam artikel CAS Law Firm untuk memastikan bahwa peraturan yang digunakaan masih relevant dan berlaku.
Artikel Hukum Terbaru
